Selasa, 31 Juli 2012

Teori Belajar Kognitif


Hakekat belajar menurut teori ini dijelaskan sebagai suatu aktifitas belajar yang berkaitan dengan penataan infomasi, reorganisasi, perseptual, dan proses internal.
Menurut teori kognitif belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan dapat diikut. Asumsi teori ini adalah bahwa setiap orang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur kognitif yang dimilikinya. Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran atau informasi baru beradaptasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang.
Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam bentuk rumusan-rumusan seperti : ”tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh J. Peaget, Advance Organizer oleh Ausubel, pemahaman konsep oleh Bruner, Hirarki Belajar oleh Gagne, Webteaching oleh Norman, dan sebagainya.
1.    Teori Perkembangan Peaget
Menururt Peaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin bertambahnya umur, makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya.
Proses adaptasi mempunyai dua bentuk dan terjadi secara simultan yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses perubahan apa yang dipahami sesuai dengan struktur kognitif yang ada sekarang, sementara akomodasi adalah proses perubahan struktur kognitif sehingga dapat dipahami.
Peaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat, yaitu:
  • Tahap Sensori Motori (umur 0 – 2 tahun)
Ciri pokok perkembangannya berdasarkan tindakan dan dilakukan langkah demi langkah.
  • Tahap Preoperasional (umur 2 – 7 / 8 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah pada penggunaan symbol atau bahasa tanda, dan mulai berkembangnya konsep-konsep intuitif.
  • Tahap Operasional Konkret (umur 7 atau 8 – 11 atau 12 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis, dan ditandai dengan adanya reversibel dan kekekalan.
  • Tahap Operasional Formal (umur 11 / 12 – 18 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan pola berpikir “kemungkinan”.
Sedangkan langkah-langkah pembelajaran menurut Peaget antara lain:
1.    Menentukan tujuan pembelajaran
2.    Memilih materi pelajaran
3.    Menetukan topik-topik yang dpat dipelajari siswa secara aktif
4.    Menentukan kegiatan belajar yang sesuai untuk topik-topik tersebut misalnya penelitian, memecahkan masalah, diskusi, simulasi, dan sebagainya.
5.    Mengembangkan metode pembelajaran untuk merangsang kreatifitas dan cara berpikir siswa.
6.    Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.
2.    Teori Belajar Menurut Bruner
Jerome Bruner (1966) adalah seorang pengikut setia teori kognitif, khususnya dalam studi perkembangan fungsi kognitif. Menurut Bruner, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menyusun materi pelajaran dan menyajikannya sesuai dengan tahap perkembangan orang tersebut. Gagasannya mengenai kurikulum spiral sebagai suatu cara mengorganisasikan materi pelajaran tingkat makro, menunjukkan cara mengurutkan materi pelajaran mulai dari mengajarkan materi secara umum, kemudian secara berkala kembali mengajarkan materi yang sama dalam cakupan yang lebih rinci.
Langkah-langkah pembelajaran menurut Bruner antara lain:
  1. Menentukan tujuan pembelajaran
  2. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya)
  3. Memilih materi pelajaran
  4. Menentukan topik-topik yang dapat dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh ke generalisasi)
  5. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh ilustrasi tugas, dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
  6. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak.
  7. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.
    3. Teori Belajar Bermakna Ausubel
Menurut Ausubel, bahwa proses belajar terjadi jika seseorang mampu mengasimilasikan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan pengetahuan baru. Proses belajar akan terjadi melalui tahap-tahap memperhatikan stimulus, memahami makna stimulus, menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.
Adapun langkah-langkah pembelajaran menurut Ausubel adalah :
  1. Menentukan tujuan pembelajaran
  2. Melakukan identifikasi karakteristik siswa.
  3. Memilih materi pelajaran sesuai dengan karakteristik siswa dan mengaturnaya dalam bentuk konsep-konsep inti.
  4. Mempelajari konsep-konsep inti tersebut, dan menerapkannya dalam bentuk nyata/konkret.
  5. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa

Teori Belajar Konstruktivistik


Usaha mengembangkan manusia dan masyarakat yang memiliki kepekaan mandiri, bertanggungjawb, dapat mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat serta mampu berkolaborasi dalam memecahkan masalah, diperlukan layanan pendidikan yang dapat melihat cirri – cirri manusia tersebut, dengan praktek – praktek pendidikan dan pembelajaran. Pandangan kontruvistik yang mengemukakan belajar adalah upaya pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui asimilsi dan akomodasi yang menuju pada pembetukan struktur kognitifnya, memungkinkan mengarah pada tujuan tersebut. Oleh karna itu, pembelajaran diusahakan agar dapat memberikan kondisi terjadinya proses pembetukan tersebut secara optimal dalam diri siswa. Proses belajar sebagi suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamnnya melalui proses akomodasi dan asimilasi, akan membetuk suatu kontruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya.
Guru – guru kontrutivistik yang menghargai dorongan diri manusia atau siswa untuk mengontruksikan pengetahuannya sendiri, kegiatan pembelajaran yang dilakukannya akan diarahkan agar tejadi aktivistas kotruksi pengetahuan oleh siswa secara optimal.
Karakteristi pembelajaran yang dilakukannya adalah :
·         Membenaskan siswa dari belenggu kurikulum yng berisi fakta – fakta lepas yang sudah ditetapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide –idenya secara lebih luas.
·         Mmennempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya inters untuk membuat hubungan diantara ide – ide atau gagasanyakemudian mengformulasikan kembali ide – ide tersebut serta membuat kesimpulan – kesimpulan.
·         Guru bersama siswa mengkaji pesan – pesan penting bahwa dunia adalah komplek dimana terdapat bermacam – macam pandangan kebenaran yang datangnya dari berbagai interpretasi.
·         Guru mengakui bahwa dalam proses belajar dan peniliannya merupakan suatu usaha yang komplek, sukar dipahami, tidak teratur dan tidak mudah dikelola
A.    Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Pada bagian ini akan dibahas proses belajar dari pandangan konstruktivistik, dan dari aspek-aspek si-belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.Proses belajar konstruktivistik. Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “…..constructing and restructuring of knowledge and skills (schemata) within the individual in a complex network of increasing conceptual consistency…..”. Pemberian makna terhadap obyek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya. dan sebagainya.               
1.      Peranan Siswa (Si-belajar).
Menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kamampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.
2.      Peranan Guru
Dalam belajar konstruktivistik guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian belajar oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak menstransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemauannya.
Peranan kunci guru dalam interaksi pedidikan adalah pengendalian yang meliputi;
a.       Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.
b.      Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
c.       Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
3.      Sarana belajar.
Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertanggung jawabkan pemikirannya secara rasional.
4.      Evaluasi belajar.
Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik. Ada perbedaan penerapan evaluasi belajar antara pandangan behavioristik (tradisional) yang obyektifis dan konstruktivistik. Pembelajaran yang diprogramkan dan didesain banyak mengacu pada obyektifis, sedangkan Piagetian dan tugas-tugas belajar discovery lebih mengarah pada konstruktivistik. Obyektifis mengakui adanya reliabilitas pengetahuan, bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, dan tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah tersetruktur dengan rapi. Guru bertugas untuk menyampaikan pengetahuan tersebut. Realitas dunia dan strukturnya dapat dianalisis dan diuraikan, dan pemahaman seseorang akan dihasilkan oleh proses-proses eksternal dari struktur dunia nyata tersebut, sehingga belajar merupakan asimilasi obyek-obyek nyata. Tujuan para perancang dan guru-guru tradisional adalah menginterpretasikan kejadian-kejadian nyata yang akan diberikan kepada para siswanya.
Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalamannya. Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan obyek dan peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, obyek, dan pandangan terhadap dunia nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual.
Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa siswa akan dapat menginterpretasi-kan informasi ke dalam pikirannya, hanya pada konteks pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksi pemahaman representasi fungsi konseptual dunia eksternal.
Evaluasi belajar pandangan behavioristik tradisional lebih diarahkan pada tujuan belajar. Sedangkan pandangan konstruktivistik menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi informasi tentang tujuan selanjutnya.
 Jika tujuan belajar diketahui sebelum proses belajar dimulai, proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah. Pemberian kriteria pada evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran. Tujuan belajar mengarahkan pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas belajar siswa.Pembelajaran dan evaluasi yang menggunakan kriteria merupakan prototipe obyektifis/behavioristik, yang tidak sesuai bagi teori konstruktivistik.
Hasil belajar konstruktivistik lebih tepat dinilai dengan metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik.
Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi seperti tingkat “penemuan” pada taksonomi Merrill, atau “strategi kognitif” dari Gagne, serta “sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.
B.     Tujuan dan Hasil Belajar
Seirama dengan kesesuaian penerapan paradigma desain pembelajaran, tidak terlepas pula dalam penetapan tujuan belajar yang disasar dan hasil belajar yang diharapkan.
Tujuan belajar menurut paradigma konstruktivistik mendasarkan diri pada tiga fokus belajar, yaitu:
1.      proses
2.      tranfer belajar
3.      bagaimana belajar.
Fokus yang pertama—proses, mendasarkan diri pada nilai sebagai dasar untuk mempersepsi apa yang terjadi apabila siswa diasumsikan belajar. Nilai tersebut didasari oleh asumsi, bahwa dalam belajar, sesungguhnya siswa berkembang secara alamiah. Oleh sebab itu, paradigma pembelajaran hendaknya mengembalikan siswa ke fitrahnya sebagai manusia dibandingkan hanya menganggap mereka belajar hanya dari apa yang dipresentasikan oleh guru. Implikasi nilai tersebut melahirkan komitmen untuk beralih dari konsep pendidikan berpusat pada kurikulum menuju pendidikan berpusat pada siswa. Dalam pendidikan berpusat pada siswa, tujuan belajar lebih berfokus pada upaya bagaimana membantu para siswa melakaukan revolusi kognitif. Model pembelajaran perubahan konseptual (Santyasa, 2004) merupakan alternatif strategi pencapaian tujuan pembelajaran tersebut. Pembelajaran yang fokus pada proses pembelajaran adalah suatu nilai utama pendekatan konstruktivstik. Fokus yang kedua—transfer belajar, mendasarkan diri pada premis “siswa dapat menggunakan dibandingkan hanya dapat mengingat apa yang dipelajari”. Satu nilai yang dapat dipetik dari premis tersebut, bahwa meaningful learning harus diyakini memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan dengan rote learning, dan deep understanding lebih baik dibandingkan senseless memorization. Konsep belajar bermakna sesungguhnya telah dikenal sejak munculnya psikologi Gestal dengan salah satu pelopornya Wertheimer (dalam Mayer, 1999). Sebagai tanda pemahaman mendalam adalah kemampuan mentransfer apa yang dipelajari ke dalam situasi baru. Fokus yang ketiga—bagimana belajar (how to learn) memiliki nilai yang lebih penting dibandingkan dengan apa yang dipelajari (what to learn). Alternatif pencapaian learning how to learn, adalah dengan memberdayakan keterampilan berpikir siswa. Dalam hal ini, diperlukan fasilitas belajar untuk ketarampilan berpikir. Belajar berbasis keterampilan berpikir merupakan dasar untuk mencapai tujuan belajar bagaimana belajar (Santyasa, 2003).

C.     Perbandingan Pembelajaran Tradisional (Behavioristik) dan Pembelajaran Konstruktivistik
Proses pembelajaran akan efektif jika diketahui inti kegiatan belajar yang sesungguhnya. Pada bagian ini akan dibahas ciri-ciri pembelajaran tradisional atau behavioristik dan ciri-ciri pembelajaran konstruktivistik.Kegiatan pembelajaran yang selama ini berlangsung, yang berpijak pada teori behavioristik, banyak didominasi oleh guru. Guru menyampaikan materi pelajaran melalui ceramah, dengan harapan siswa dapat memahaminya dan memberikan respon sesuai dengan materi yang diceramahkan. Dalam pembelajaran, guru banyak menggantungkan pada buku teks. Materi yang disampaikan sesuai dengan urutan isi buku teks. Diharapkan siswa memiliki pandangan yang sama dengan guru, atau sama dengan buku teks tersebut. Alternatif-alternatif perbedaan interpretasi di antara siswa terhadap fenomena sosial yang kompleks tidak dipertimbangkan. Siswa belajar dalam isolasi, yang mempelajari kemampuan tingkat rendah dengan cara melengkapi buku tugasnya setiap hari.
Ketika menjawab pertanyaan siswa, guru tidak mencari kemungkinan cara pandang siswa dalam menghadapi masalah, melainkan melihat apakah siswa tidak memahami sesuatu yang dianggap benar oleh guru. Pengajaran didasarkan pada gagasan atau konsep-konsep yang sudah dianggap pasti atau baku, dan siswa harus memahaminya. Pengkonstruksian pengetahuan baru oleh siswa tidak dihargai sebagai kemampuan penguasaan pengetahuan.
Berbeda dengan bentuk pembelajaran di atas, pembelajaran konstruktivistik membantu siswa menginternalisasi dan mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutnya akan membentuk struktur kognitif baru. Pendekatan konstruktivistik lebih luas dan sukar untuk dipahami. Pandangan ini tidak melihat pada apa yang dapat diungkapkan kembali atau apa yang dapat diulang oleh siswa terhadap pelajaran yang telah diajarkan dengan cara menjawab soal-soal tes (sebagai perilaku imitasi), melainkan pada apa yang dapat dihasilkan siswa, didemonstrasikan, dan ditunjukkannya.
Secara rinci perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisional atau behavioristik  dan pembelajaran konstruktivistik adalah sebagai berikut.

Pembelajaran tradisional
Pembelajaran konstruktivistik
1.    Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju ke seluruhan dengan menekankan pada ketrampilan-ke-trampilan dasar.
1.        Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke bagian-bagian, dan lebih mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih luas.
2.    Pembelajaran sangat taat pada kuri-kulum yang telah ditetapkan.
2.        Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa.
3.    Kegiatan kurikuler lebih banyak me-ngandalkan pada buku teks dan buku kerja.
3.        Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan.
4.     Siswa-siswa dipandang sebagai “kertas kosong” yang dapat digoresi infor-masi oleh guru, dan guru-guru pada umumnya menggunakan cara didak-tik dalam menyampaikan informasi kepada siswa.
4.        Siswa dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya.
5.    Penilaian hasil belajar atau pengeta-huan siswa dipandang sebagai bagian dari pembelajaran, dan biasanya dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing.
5.        Pengukuran proses dan hasil belajar siswa terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan.
6.     Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group process dalam belajar.
6.        Siswa-siswa banyak belajar dan bekerja di dalam group process.
.

Pengetahuan Pokok Laboratorium


1.    Instruksi Laboratorium
*   Laboratorium sebagai tempat bekerja dan latihan, menurut kesungguhan yang tinggi
*   Bekerjalah sesuai dengan petunjuk
*   Jika bekerja dengan asam atau zat lain yang korosif memercik, segera lap bagian yang terkena percikan dengan kain bersih lalu bilas dengan air
*   Jangan sentuh zat-zat kimia kecuali yang diinstruksikan
*   Jangan mencicipi zat kimia kecuali yang diinstruksikan
*   Pada saat mengamati/mereaksikan jangan hadapkan kearah muka atau badan
*   Untuk membaui, jangan hirup langsung. Kipas-kipaskan tangan kedalam mulut bejana dan hirup gas perlahan
*   Berhati-hatilah dengan api. Pembakar yang tidak digunakan segara padamkan. Alat pemadam kebakaran dilaboratorium harus diketahui dengan pasti tempatnya maupun cara penggunaannya
*   Jangan buang benda padat kedalam wasbak cuci
*   Baca label atau etiket yang tertera pada botol atau wadah reagen sebelum mengambil isinya
*   Ambil zat yang sesuai dengan yang diinstruksikan. Jangan sekali-kali mengembalikan zat atau reagen yang telah diambil ke dalam botol yang semula
*   Pada akhir praktikum tugas anda adalah:
·      Bersihkan semua alat yang digunakan
·      Lapor atas kerusakan atau kehilangan alat yang menjadi tanggung jawab anda atau krlompok
·      Membersihkan meja tempat bekerja
·      Basuh tangan anda sendiri, sebaiknya gunakan sabun cuci.
2.    Teknik Laboratorium
Ø Mengencerkan asam pekat. Tuangkan asam pekat ke dalam air sambil diaduk. Jangan sekali-kali menungkan air ke dalam asam pekat
Ø Memanaskan tabung reaksi. Hadapkan mulut tabung ke tempat yang aman
Ø Percobaan yang menghasilkan gas yang berbahaya. Lakukan di ruang asam atau di luar laboratorium
Ø Memipet cairan dengan pipet seukuran. Ujung pipet harus betul-betul tercelup dalam cairan. Isap sampai sedikit melebihi tanda batas. Keringkan bagian luar pipet yang kena cairan dengan kertas saring. Atur agar pipet tegag vertikal dan cairan tepat pada tanda batas. Cairan pindahkan ke dalam wadah
Perhatikan: cairan Hg sangat beracun dan mudah menguap, tidak boleh di pipet dengan menghisap menggunan mulut
Ø Menimbang zat yang ditimbang. Tidak boleh langsung diletakkan di atas piring neraca. Gunakan botol timbang, kaca arloji, kertas saring atau wadah lain yang sesuai.


3.    Keamanan dan Keselamatan Kerja
v Menggunakan Alat Pelindung
·      Menggunakan jas lab
·      Menggunakan kacamata pelindung atau goggles
·      Menggunakan pelindung muka (face shield) jika menggunakan asam pekat atau bahan- bahan yang mudah meledak (eksplosiv)
v Percikan Zat atau Tumpahan Zat
Jika zat memercik atau mengenai mata, masuk ke mulut, mengenai kulit, bilaskan segera dengan air yang banyak, kemudian netralkan dengan Natrium Hidrogen Karbonat.Jika zat tumpah, bersihkan segera.
Netralkan asam atau basa dengan cara berikut:
·      Asam pada pakaian, bilas dengan air yang banyak, kemudian netralakn Natrium Hidrogen Karbonat
·      Basa pada pakaian, bilas dengan air yang banyak, kemudian netralkan dengan larutan asam asetat encer
·      Tumpahan asam atau basa di meja, encerkan dengan air dan netralakan dengan  Natrium Hidrogen Karbonat padat.
v Menghindari Keracunan
Cucilah tangan setiap selesei bekerja. Jangan meletakan makanan atau minuman di meja praktikum. Jangan menyimpan makanan atau minuman di lemari es yang juga di pakai untuk menyimpan zat kimia

v Memipet
Jangan memipet dengan mulut untuk cairan yang mudah menguap atau beracun. Seperti aseton dan benzene.
v Lemari Asam
Gunakan lemari asam jika bekerja dengan zat-zat atau reaksi yang menghasilkan uap beracun.