Usaha mengembangkan manusia dan masyarakat yang memiliki
kepekaan mandiri, bertanggungjawb, dapat mendidik dirinya sendiri sepanjang
hayat serta mampu berkolaborasi dalam memecahkan masalah, diperlukan layanan
pendidikan yang dapat melihat cirri – cirri manusia tersebut, dengan praktek –
praktek pendidikan dan pembelajaran. Pandangan kontruvistik yang mengemukakan
belajar adalah upaya pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui
asimilsi dan akomodasi yang menuju pada pembetukan struktur kognitifnya,
memungkinkan mengarah pada tujuan tersebut. Oleh karna itu, pembelajaran diusahakan agar
dapat memberikan kondisi terjadinya proses pembetukan tersebut secara optimal dalam diri siswa. Proses
belajar sebagi suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamnnya
melalui proses akomodasi dan asimilasi, akan membetuk suatu kontruksi
pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya.
Guru – guru kontrutivistik yang menghargai dorongan diri
manusia atau siswa untuk mengontruksikan pengetahuannya sendiri, kegiatan
pembelajaran yang dilakukannya akan diarahkan agar tejadi aktivistas kotruksi
pengetahuan oleh siswa secara optimal.
Karakteristi pembelajaran yang dilakukannya adalah :
·
Membenaskan
siswa dari belenggu kurikulum yng berisi fakta – fakta lepas yang sudah
ditetapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide
–idenya secara lebih luas.
·
Mmennempatkan
siswa sebagai kekuatan timbulnya inters untuk membuat hubungan diantara ide –
ide atau gagasanyakemudian mengformulasikan kembali ide – ide tersebut serta
membuat kesimpulan – kesimpulan.
·
Guru
bersama siswa mengkaji pesan – pesan penting bahwa dunia adalah komplek dimana
terdapat bermacam – macam pandangan kebenaran yang datangnya dari berbagai
interpretasi.
·
Guru
mengakui bahwa dalam proses belajar dan peniliannya merupakan suatu usaha yang
komplek, sukar dipahami, tidak teratur dan tidak mudah dikelola
A.
Proses
Belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Pada bagian ini akan dibahas proses
belajar dari pandangan konstruktivistik, dan dari aspek-aspek si-belajar,
peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.Proses belajar
konstruktivistik. Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari
pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu
arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh
siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara
pada pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari
segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas.
Proses tersebut berupa “…..constructing and restructuring of
knowledge and skills (schemata) within the individual in a complex network of
increasing conceptual consistency…..”. Pemberian makna terhadap obyek dan pengalaman oleh individu tersebut
tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi
dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun
di luar kelas. Oleh sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada
pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada
pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau
prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti
nilai, ijasah, dan sebagainya. dan sebagainya.
1.
Peranan
Siswa (Si-belajar).
Menurut
pandangan konstruktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan
pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif
melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang
hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa
untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar.
Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat
belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya
kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
Paradigma
konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan
awal sebelum mempelajari sesuatu. Kamampuan awal tersebut akan menjadi dasar
dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan
awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru,
sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.
2.
Peranan
Guru
Dalam
belajar konstruktivistik guru atau pendidik berperan membantu agar proses
pengkonstruksian belajar oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak menstransferkan
pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk
pengetahuannya sendiri. Guru dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau
cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya
cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemauannya.
Peranan
kunci guru dalam interaksi pedidikan adalah pengendalian yang meliputi;
a.
Menumbuhkan
kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan
bertindak.
b.
Menumbuhkan
kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan
dan ketrampilan siswa.
c.
Menyediakan
sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang
optimal untuk berlatih.
3.
Sarana
belajar.
Pendekatan
konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah
aktifitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu
seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan
untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan
pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian,
siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah
yang dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertanggung jawabkan
pemikirannya secara rasional.
4.
Evaluasi
belajar.
Pandangan
konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung
munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi
pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman.
Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar
konstruktivistik. Ada perbedaan penerapan evaluasi belajar antara pandangan
behavioristik (tradisional) yang obyektifis dan konstruktivistik. Pembelajaran
yang diprogramkan dan didesain banyak mengacu pada obyektifis, sedangkan
Piagetian dan tugas-tugas belajar discovery
lebih mengarah pada konstruktivistik. Obyektifis mengakui adanya reliabilitas
pengetahuan, bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, dan tetap, tidak
berubah. Pengetahuan telah tersetruktur dengan rapi. Guru bertugas untuk
menyampaikan pengetahuan tersebut. Realitas dunia dan strukturnya dapat
dianalisis dan diuraikan, dan pemahaman seseorang akan dihasilkan oleh
proses-proses eksternal dari struktur dunia nyata tersebut, sehingga belajar
merupakan asimilasi obyek-obyek nyata. Tujuan para perancang dan guru-guru
tradisional adalah menginterpretasikan kejadian-kejadian nyata yang akan
diberikan kepada para siswanya.
Pandangan
konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang.
Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalamannya.
Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang
mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan
yang digunakan untuk menginterpretasikan obyek dan peristiwa-peristiwa. Pandangan
konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting dalam
menginterpretasikan kejadian, obyek, dan pandangan terhadap dunia nyata, di
mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara
individual.
Teori
belajar konstruktivistik mengakui bahwa siswa akan dapat menginterpretasi-kan
informasi ke dalam pikirannya, hanya pada konteks pengalaman dan pengetahuan
mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Guru dapat
membantu siswa mengkonstruksi pemahaman representasi fungsi konseptual dunia
eksternal.
Evaluasi
belajar pandangan behavioristik tradisional lebih diarahkan pada tujuan
belajar. Sedangkan pandangan konstruktivistik menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu
konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi
akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi informasi tentang tujuan
selanjutnya.
Jika tujuan belajar diketahui sebelum proses
belajar dimulai, proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah. Pemberian
kriteria pada evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran. Tujuan
belajar mengarahkan pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas belajar
siswa.Pembelajaran dan evaluasi yang menggunakan kriteria merupakan prototipe
obyektifis/behavioristik, yang tidak sesuai bagi teori konstruktivistik.
Hasil
belajar konstruktivistik lebih tepat dinilai dengan metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang digunakan
untuk menilai hasil belajar konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman
kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik.
Bentuk-bentuk
evaluasi konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik,
mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi
seperti tingkat “penemuan” pada taksonomi Merrill, atau “strategi kognitif”
dari Gagne, serta “sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi
pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan
berbagai perspektif.
B.
Tujuan dan
Hasil Belajar
Seirama dengan
kesesuaian penerapan paradigma desain pembelajaran, tidak terlepas pula dalam penetapan tujuan
belajar yang disasar dan hasil belajar yang diharapkan.
Tujuan belajar menurut paradigma
konstruktivistik mendasarkan diri pada tiga fokus
belajar, yaitu:
1.
proses
2.
tranfer belajar
3.
bagaimana belajar.
Fokus
yang pertama—proses, mendasarkan diri pada nilai sebagai dasar untuk mempersepsi
apa yang terjadi apabila siswa diasumsikan belajar. Nilai tersebut didasari oleh
asumsi, bahwa dalam belajar, sesungguhnya siswa berkembang secara alamiah. Oleh sebab itu, paradigma pembelajaran
hendaknya mengembalikan siswa ke fitrahnya sebagai manusia dibandingkan hanya menganggap
mereka belajar hanya dari apa yang dipresentasikan
oleh guru. Implikasi nilai tersebut
melahirkan komitmen untuk beralih dari konsep
pendidikan berpusat pada kurikulum menuju pendidikan berpusat pada siswa. Dalam pendidikan berpusat pada siswa,
tujuan belajar lebih berfokus pada upaya bagaimana
membantu para siswa melakaukan revolusi kognitif. Model pembelajaran perubahan konseptual (Santyasa, 2004)
merupakan alternatif strategi pencapaian tujuan pembelajaran
tersebut. Pembelajaran yang fokus pada proses pembelajaran adalah suatu nilai utama pendekatan konstruktivstik. Fokus yang kedua—transfer belajar,
mendasarkan diri pada premis “siswa dapat menggunakan dibandingkan hanya
dapat mengingat apa yang
dipelajari”. Satu nilai yang dapat dipetik dari premis tersebut,
bahwa meaningful learning harus
diyakini memiliki nilai yang lebih baik
dibandingkan dengan rote learning,
dan deep understanding lebih baik dibandingkan senseless memorization. Konsep
belajar bermakna sesungguhnya telah dikenal
sejak munculnya psikologi Gestal dengan salah satu pelopornya Wertheimer (dalam Mayer, 1999). Sebagai tanda
pemahaman mendalam adalah kemampuan mentransfer
apa yang dipelajari ke dalam situasi baru. Fokus
yang ketiga—bagimana belajar (how to
learn) memiliki nilai yang
lebih penting dibandingkan dengan apa yang
dipelajari (what to learn).
Alternatif pencapaian learning how to learn, adalah dengan
memberdayakan keterampilan berpikir siswa. Dalam hal
ini, diperlukan fasilitas belajar untuk ketarampilan berpikir. Belajar berbasis keterampilan berpikir merupakan dasar
untuk mencapai tujuan belajar bagaimana belajar (Santyasa,
2003).
C.
Perbandingan
Pembelajaran Tradisional (Behavioristik) dan Pembelajaran Konstruktivistik
Proses pembelajaran akan efektif
jika diketahui inti kegiatan belajar yang sesungguhnya. Pada bagian ini akan
dibahas ciri-ciri pembelajaran tradisional atau behavioristik dan ciri-ciri
pembelajaran konstruktivistik.Kegiatan pembelajaran yang selama ini
berlangsung, yang berpijak pada teori behavioristik, banyak didominasi oleh
guru. Guru menyampaikan materi pelajaran melalui ceramah, dengan harapan siswa
dapat memahaminya dan memberikan respon sesuai dengan materi yang diceramahkan.
Dalam pembelajaran, guru banyak menggantungkan pada buku teks. Materi yang
disampaikan sesuai dengan urutan isi buku teks. Diharapkan siswa memiliki
pandangan yang sama dengan guru, atau sama dengan buku teks tersebut. Alternatif-alternatif
perbedaan interpretasi di antara siswa terhadap fenomena sosial yang kompleks
tidak dipertimbangkan. Siswa belajar dalam isolasi, yang mempelajari kemampuan
tingkat rendah dengan cara melengkapi buku tugasnya setiap hari.
Ketika menjawab pertanyaan siswa,
guru tidak mencari kemungkinan cara pandang siswa dalam menghadapi masalah,
melainkan melihat apakah siswa tidak memahami sesuatu yang dianggap benar oleh
guru. Pengajaran didasarkan pada gagasan atau konsep-konsep yang sudah dianggap
pasti atau baku, dan siswa harus memahaminya. Pengkonstruksian pengetahuan baru
oleh siswa tidak dihargai sebagai kemampuan penguasaan pengetahuan.
Berbeda dengan bentuk pembelajaran
di atas, pembelajaran konstruktivistik membantu siswa menginternalisasi dan
mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi dengan menghasilkan
pengetahuan baru yang selanjutnya akan membentuk struktur kognitif baru.
Pendekatan konstruktivistik lebih luas dan sukar untuk dipahami. Pandangan ini
tidak melihat pada apa yang dapat diungkapkan kembali atau apa yang dapat
diulang oleh siswa terhadap pelajaran yang telah diajarkan dengan cara menjawab
soal-soal tes (sebagai perilaku imitasi), melainkan pada apa yang dapat
dihasilkan siswa, didemonstrasikan, dan ditunjukkannya.
Secara rinci perbedaan karakteristik
antara pembelajaran tradisional atau behavioristik dan pembelajaran
konstruktivistik adalah sebagai berikut.
Pembelajaran
tradisional
|
Pembelajaran
konstruktivistik
|
1. Kurikulum disajikan dari bagian-bagian
menuju ke seluruhan dengan menekankan pada ketrampilan-ke-trampilan dasar.
|
1.
Kurikulum
disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke bagian-bagian, dan lebih
mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih luas.
|
2. Pembelajaran sangat taat pada
kuri-kulum yang telah ditetapkan.
|
2.
Pembelajaran
lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa.
|
3. Kegiatan kurikuler lebih banyak
me-ngandalkan pada buku teks dan buku kerja.
|
3.
Kegiatan
kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan
manipulasi bahan.
|
4. Siswa-siswa dipandang sebagai “kertas
kosong” yang dapat digoresi infor-masi oleh guru, dan guru-guru pada umumnya
menggunakan cara didak-tik dalam menyampaikan informasi kepada siswa.
|
4.
Siswa
dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang
dirinya.
|
5. Penilaian hasil belajar atau
pengeta-huan siswa dipandang sebagai bagian dari pembelajaran, dan biasanya
dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing.
|
5.
Pengukuran
proses dan hasil belajar siswa terjalin di dalam kesatuan kegiatan
pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan siswa,
serta melalui tugas-tugas pekerjaan.
|
6. Siswa-siswa biasanya bekerja
sendiri-sendiri, tanpa ada group
process dalam belajar.
|
6.
Siswa-siswa
banyak belajar dan bekerja di dalam group
process.
|
.